Kamis, 17 Juni 2010

Pemda Diminta Garap Wisata Pedesaan

PDF Print
Thursday, 17 June 2010
JAKARTA(SI) – Pemerintah daerah (pemda) diminta untuk mengembangkan industri wisata perdesaan dan kearifan lokal sebagai salah satu produk wisata unggulan daerah.


Objek wisata seperti ini sangat potensial mengundang arus wisatawan asing maupun domestik asal digarap sangat serius. Sekretaris Dirjen Pemasaran Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (Kemenbudpar) Noviendi Makalam mengatakan,konsep wisata perdesaan berbeda dengan desa wisata yang selama ini sudah ada. “Kalau desa wisata, biasanya turis bisa langsung berinteraksi dengan masyarakat adat. Pada konsep wisata perdesaan, turis sama sekali tidak berinteraksi dengan masyarakat setempat,” ujar Noviendi seusai menutup lawatan sales mission pariwisata Indonesia ke tiga negara ASEAN di Jakarta,kemarin.

Dia juga menyatakan, wisata perdesaan bukan pula bentuk desa rekaan seperti banyak ditemukan pada konsep sejumlah resto dan resor di Bandung.“Desa atau kampung adatnya ada,seni dan budaya keseharian masyarakatnya ada, juga kearifan lokalnya.Tapi agar masyarakat adatnya tidak terimbas akulturasi, pemda dapat membangun semacam area desa imitasi di sekitar desa adat asli. Di sanalah para turis dapat berkeliling dengan suasana seperti aslinya,” jelas Noviendi. Dia mengungkapkan, konsep wisata perdesaan ini mengadopsi konsep kampung adat masyarakat Mennonite di St Jacobs, Ontario, Kanada. Masyarakat adat di desa kecil tersebut bisa hidup makmur hanya dari pendapatan sektor pariwisata yang mencapai USD5 juta per tahun, padahal mereka sama sekali tidak berinteraksi dengan para turis yang datang.

Para turis hanya mengunjungi desa imitasi yang menyerupai desa asli lengkap dengan rumah-rumah penduduk, toko, dan fasilitas lain. Wisatawan juga diajak mengikuti tur menyaksikan video sarat informasi mengenai sejarah serta kehidupan masyarakat Mennonite dan St Jacobs,melihat diorama bentuk kamar tidur, dapur, ruang makan hingga kamar mandi rumahrumah di sana sehingga akhirnya berkunjung ke souvenir shop. Dengan industri wisata perdesaan seperti ini, kata Noviendi, masyarakat adat mendapat uang banyak dari kerajinan dan pemasukan wisata, tapi keseharian mereka tidak terganggu atau berubah. Di sisi lain,dengan informasi yang sangat lengkap,para turis pun terkesan dan berempati untuk membiarkan masyarakat adat di sana hidup tenang tanpa perlu bersinggungan dengan dunia luar.

“Inilah yang disebut bisnis pariwisata adalah bisnis interpretatif. Selama ini kita seperti bakar daging kurang kecap. Lokasi wisatanya sangat bagus, tapi minim informasi sehingga turis kurang terkesan,”terang Noviendi. Dia menekankan, sebuah potensi atraksi yang sederhana dapat mengundang banyak wisatawan bila ditata dan dikemas dalam paket wisata yang lengkap.Untuk itu dibutuhkan destination management organization (DMO) sebagai penyelenggara yang melibatkan perwakilan masyarakat setempat. Contoh DMO yang sudah berjalan bagus adalah di Baturaden, Purwokerto, Jawa Tengah.Para pelaku wisata di sana menyepakati standar produk dan jasa, estetika, kualitas hingga harga. “Hanya ingat, jangan sampai kita menjual kemiskinan saat menawarkan wisata perdesaan.

Yang kita jual adalah kearifan lokal dan suasana alaminya,”kata Noviendi Sementara itu,Director of Sales and Marketing Hotel Melia Purosani Yogyakarta Asteria T Hesty mengatakan, untuk menata sebuah wisata perdesaan yang ideal dibutuhkan kerja sama yang sangat baik antara pemda dan kalangan industri wisata.“Pemda bisa membuka kampung-kampung adat yang potensial sebagai objek wisata, lalu swasta yang menata, mengemas paket, dan mengoperasikannya. Pemda tetap menjadi koordinator dan regulator di tingkat lokal,”ujar Aster.

Managing Director Chacha Tours and Travel Shelly Henry mengungkapkan, wisata perdesaan sangat potensial mendatangkan pemasukan baik bagi pemda, pelaku usaha wisata maupun terutama masyarakat setempat. (armydian kurniawan) 
 
http://www.seputar-indonesia.com

Tidak ada komentar: