Wednesday, 16 June 2010 | |
SEBUAH usulan yang disebut dengan dana aspirasi berupa dana sebesar Rp15 miliar yang dibagikan untuk setiap anggota Dewan (setiap daerah pemilihan) setiap tahun memperjelas ada motif legalisasi politik uang. Keuntungan politik yang diperoleh melalui proses politik minus proses teknokrasi dibingkai melalui alokasi anggaran negara.Walaupun secara humanis, usulan yang digagas oleh fraksi Golkar tersebut ditujukan untuk pemerataan pembangunan di daerah. Logika politik elite Senayan yang tak dapat dibantah adalah pemenangan (kembali) pada pemilu mendatang sehingga jika memang usulan dana aspirasi tersebut ditujukan untuk rakyat di daerah,selalu ada political benefit logicyang menyertainya. Akhirnya distribusi sumber-sumber kapital yang selama ini menjadi sebuah hidden allocation bagi partai politik berusaha dilegalkan melalui mekanisme dana aspirasi yang digagas tersebut. Namun,usulan dana aspirasi dalam banyak sisi mempunyai kepincangan terutama ketika muncul pertanyaan bagaimana mekanisme pengawasan, pertanggungjawaban, dan implementasi dana tersebut? Usulan yang tanpa dibarengi dengan seperangkat supporting order untuk menjawab pertanyaan tersebut mengindikasikan bahwa usulan dana aspirasi merupakan perwujudan dari apa yang disebut pork barrel politics. Konsep ini adalah sebuah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah atau elite politik untuk membangun dukungan politik dari masyarakat luas dengan merilis program-program kebijakan yang langsung dibiayai dari anggaran negara atau APBN. Sedangkan dalam relasi partai politik dan kebijakan publik, seorang pemimpin negara ataupun pembantunya adalah bentuk dari penetrasi (meminjam istilah Poguntke, 2003) dari partai politik. Dengan kata lain, hal inilah manifestasi dari salah satu dari tiga wajah partai politik yang bernama party in the center office(Katz dan Mair,1992).Praktik pork barrel politicsdengan kata lain adalah sebuah strategi pemerintah—partai (atau koalisi) yang berkuasa—untuk mendapatkan simpati rakyat (khususnya) sebagai strategi prakondisi dalam menghadapi pemilihan umum. Dari sini kita menemukan konklusi kasar bahwa usulan tersebut lebih merupakan motif politik yang berorientasi pemenangan pemilu daripada motif teknokratis yang berorientasi problem solver (pemerataan pembangunan- kesejahteraan). Di sisi lain jika usulan dana aspirasi tersebut mengadopsi apa yang disebut earmark di Kongres Amerika, hal tersebut menjadi sebuah kelatahan politik uang. Karena earmark di Amerika adalah seperangkat usulan yang disertai dengan mekanisme implementasi, pengawasan, dan pertanggungjawaban yang jelas.Ketidakjelasan dari mekanisme dana aspirasi inilah yang kemudian menjadi blunder baru dalam relasi representatif,eksekutif,dan konstituen.Konstituen atau rakyat di daerah merasa belum ada pemerataan pembangunan,kelembagaan negara yang diformat secara sesentralistis. Selain itu, lack of capacity di tubuh DPR sebagai legislatif juga telah memunculkan usulan tersebut yang terkesan sporadis tanpa prakondisi politik—karena banyak ditentang oleh fraksifraksi di DPR—dan tanpa supporting order sehingga usulan tersebut menjadi utuh. Bagaimanapun usulan dana aspirasi tersebut secara itikad adalah baik jika memang mendasarkan pada logika teknokrasi untuk menyelesaikan problem rakyat (di daerah). Namun, sepertinya kita perlu untuk memikirkan kembali mekanisme pembangunan daerah melalui proses dan jalur yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini penting untuk menghindari ineffective budgeting akibat ketidakjelasan sistem dan aktor,apalagi potensi munculnya celah-celah korupsi.(*) Arya Budi Mahasiswa Jurusan Politik dan Pemerintahan UGM |
"Pimpinan dan Perwakilan Ranting Kelurahan Cakung Timur, Kecamatan Cakung - Jakarta Timur"
Kamis, 17 Juni 2010
SUARA MAHASISWA, Politisasi vs Teknokratisasi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar